Senin, 30 Juni 2014

Mengenai Solo

Pulang kampung atau mudik adalah rutinitas wajib bagi setiap perantau. Biasanya, arus mudik paling tinggi adalah ketika mendekati Hari Raya. Tapi tidak bagi keluarga gue, karena mamah-bapak memilih Lebaran sambil tetap buka warung. Jadi, kami memutuskan untuk mudik lebih awal dari orang pada umumnya.

Perjalanan di dalam bus semalam suntuk entah mengapa selalu menarik perhatian gue saat itu. Beda banget sama sekarang, begitu nempel bangku bus bisa langsung tidur pules. Dari kecil untungnya gue bukanlah tipe anak yang gampang mabuk perjalanan, jadi gue bisa enjoy banget duduk selama kurang lebih 17 jam di dalam bus. Gue seneng liat lampu kendaraan, lampu jalan, juga lampu bangunan pinggir jalan. Gue suka liatin bangunan, plat kendaraan, tata ruang pada setiap kota-kota yang dilewatin. Satu kota favorit gue dari dulu: Solo. Lewatin kota ini, baik siang ataupun malem, panas atau hujan, macet atau lancar adalah sama indahnya. Bersih, rapih, dan apalagi ya... namanya waktu itu masih kecil, susah buat jelasin kenapa kita suka sesuatu. Pokonya ya suka aja. Sempat dalam hati gue bergumam, "suatu saat nanti, Maya harus rasain tinggal disini,"

Tahun demi tahun terlewati, rambut gue makin ikal, perut gue tambah buncit. Begitu juga kesukaan gue akan Kota Solo. Ke-identikan-nya melalui julukan Kota Budaya, semakin bikin gue greget untuk ingin tinggal disana. Sampai saat gue lulus SMA, entah apa yang menggerakkan hati gue untuk memilih Solo sebagai tempat ngelanjutin studi. Padahal gue tau, ga ada satupun temen yang bakal sekolah disana, mamah-bapak tetep di Bogor, dan Keluarga Nenek gue ada cukup jauh dari situ. Tekad gue udah bulat: kuliah di Solo.

Tuhan akhirnya memang mengirim gue ke Solo. Bener aja, sampai sekarang gue belum pernah nyesel 'terdampar' di Kota ini. Ada satu kesimpulan yang gue bikin sendiri mengenai kemajuan sebuah kota, yaitu mental penduduknya. Dan Solo, gue akuin mental penduduk sini udah lebih baik ketimbang kota-kota lain. Salah satu parameternya adalah perilaku lalu lintas mereka. Di Bogor apalagi Jakarta, udah bukan hal susah lagi kita ngeliat di tiap lampu merah, pengendara khususnya pengendara motor, bakal berhenti melebihi garis yang semestinya. Sampai tahun ketiga gue di Solo, belum pernah gue ngeliat hal seperti di atas tadi.

Di Pertigaan Loji Gandrung
Ga berhenti sampai disitu, Solo punya banyaak banget acara. Setiap bulan, Pemkot selalu nerbitin kalender acara-acara tersebut. Salah satu acara yang Solo-banget adalah Solo Batik Carnival (SBC). Tahun ini adalah penyelenggaraannya yang ketujuh. Daaan, gue bersyukur banget bisa terlibat di dalamnya walau hanya sebagai volunteer.

Untuk jadi volunteer, kita diharuskan daftar dulu ke pihak panitia. Setelah itu, kita akan dibagikan tugas yang entah berdasarkan apa mereka membagi tugas-tugas pada masing-masing volunteer. Ada yang kebagian tugas perkap, konsumsi, tanggung jawab penari, peserta, media, among tamu, dsb. Kebetulan, gue dapet tanggung jawab di TNI. Bukan hal yang mudah buat pegang bapak-bapak ini walaupun pastinya mereka lebih 'mateng' daripada yang lain ya... Dengan pembawaan mereka yang tegas dan disiplin, membuat kita para volunteer kudu gercep saat dibutuhkan. Tugas gue dan temen-temen adalah mempersiapkan peralatan dan ngukur lapangan setiap latihan. Di SBC, 150 TNI ini adalah salah satu pemain di pagelaran teatrikalnya. 

Dari SBC ini, gue belajar untuk ngurus acara yang tarafnya nasional dengan jumlah peserta ratusan. Cerita mengenai SBC bakal gue bahas di postingan selanjutnya. Dalam postingan ini, gue cuma ingin menceritakan Solo berdasar secuil sudut pandang gue. Betapa baiknya Tuhan udah mengizinkan gue untuk tinggal di Kota ini, mengenal kotanya, penduduknya beserta budaya yang tersedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar